PENGABDIAN SEORANG GURU
DEMI SEBUAH KELULUSAN SISWA
Tangan Dion basah dan bergetar.
Seumur-umur, apa yang dilakukannya setelah ini begitu sangat menegangkan
baginya. Melebihi sengatan rasa tegangnya ketika dulu ia ujian skripsi. Atau,
ketika detik-detik menunggu bayi pertamanya lahir. Jika dihitung-hitung, tak
pernah ia seumur-umur merasakan sensasi tegang seperti itu. Ketegangan yang
membuat keawasan hati dan pikirannya menjadi bekerja dengan penuh terjaga.
Ini berawal dari kejadian di satu minggu
yang lalu. Waktu itu, kepala sekolah tempatnya mengajar mengajaknya untuk rapat
bersama guru-guru lain dari sekolah tersebut.
“Kita harus membantu murid-murid
kita agar mereka bisa lulus. Lulus dengan seratus persen!” Tolonglah Bapak dan
Ibu camkan apa yang sudah saya sampaikan ini,” tegas kepala sekolah.
Kemudian, seniornya yang telah
menyandang profesi pendidik selama belasan tahun itu kembali berujar
menambahkan. Menurutnya, apa yang ia lakukan itu telah dilegalkan secara tidak
legal oleh beberapa orang dinas.
“Jika tidak, sampai kapan daerah
kita bisa meluluskan murid-murid yang berlabel berprestasi. Malu lah rasanya,
jika kita dihina terus menerus karena selalu diberitakan tidak sukses dalam
meluluskan para murid? Apalagi disorot di tingkat nasional!” curahan hati
kepala sekolah menderu tegas.
Sebetulnya, Dion bisa memilih dan
tidak menganggap itu sebagai instruksi. Namun kata-kata yang diungkapkan oleh
kepala sekolah membuat ia dan beberapa guru lainnya lalu lebih berpikir. Ada
nasib nama sekolah mereka. Juga nasib murid-murid mereka. Bahkan, juga nasib
wajah-wajah mereka sendiri nantinya sebagai pengajar di sekolah itu.
Setelah sekian lamanya batin Dion
bergejolak, akhirnya dibukalah sampul amplop besar yang telah beberapa menit
ada di genggaman tangannya. Bercak berwarna cokelat yang lebih terang, terlihat
membekas di sana-sini. Itulah hasil dari tangan Dion yang basah seusai membasuh
keringat di keningnya. Pada benda yang kini berada dalam genggamannya itu, ada
nasib anak-anaknya. Hasil ujian dari anak-anak itu akan bergantung pada apa
yang akan dikerjakannya. Setelah ini, beberapa menit saja setelah amplop itu ia
buka.
Tak dapat dibayangkan oleh Dion
bagaimana jerih payahnya selama ini. Sudah tiga tahun ia menyampaikan ilmu
Matematikanya kepada para siswa di sebuah pulau. Mulai dari menyiapkan bahan
pengajaran, hingga terkadang harus berpeluh-peluh menghadapi siswa-siswanya
dalam belajar mengajar di dalam ruang kelas tak ber-AC. Semua itu demi dua buah
kata yang ingin sekali ia dengar, “Mengerti Pak!” Kata-kata yang juga didamba
oleh teman-teman seprofesinya.
Namun kegusaran yang ada pada organ
berdenyut di tempurung kepalanya harus tersingkirkan. Dalam benak Dion, ia
ingin sekali melihat wajah-wajah siswanya bisa tersenyum riang. Semoga, nasib
berpihak pada anak-anaknya di tanggal 21 Juni nanti, itu bisik hati Dion.
Pikirnya, anak-anak itu sudah cukup berpayah-payah untuk berusaha menuntut ilmu
selama ini.
Dion teringat cerita dua siswanya,
Amad dan Eli. Kedua anak itu pernah mengisahkan kepadanya tentang perjuangan
perjalanan mereka saat menuju ke sekolah. Mereka berangkat dari rumahnya di
pulau seberang dengan berseragam celana pendek warna biru.
Mereka berkisah. “Kalau tidak ada
sampan yang bisa kami naiki, ya kami lebih memilih jalan kaki dulu Pak. Ada lah
mungkin 8 km lewat jalan darat harus kami tempuh. Habis itu, barulah kami
mencopot baju, terus berenang. Kalau tak begitu, tak selamat baju seragam kami
ini kena air. Tapi beda lagi kalau kami pulang. Tak payah lagi kami Pak seperti
waktu berangkat. Ada mamaknya si Alek yang menjemput Alek dengan sampan. Nah
dengan mamak si Alek itu, bisa lah kami menumpang sampai seberang. Yang penting
kami tak lagi berpayah-payah mencopot baju seragam dulu lalu berenang pulang
macam waktu kami berangkat.”
Dion tentu saja terkejut waktu
mendengar ujaran semacam itu di awal ia mengajar, dan lalu mendapati kisah dari
murid-muridnya. Waktu itu, ia baru diangkat menjadi seorang guru dan
mendapatkan surat keputusan untuk mengajar di tempat itu. Tapi ketika Amad dan Eli
yang kini menjadi generasi kesekian kalinya sebagai muridnya di sekolah itu
bercerita hal yang sama, cuma ada satu tekad yang makin membulat di hatinya.
“Mereka harus jadi anak yang pintar!”
Tapi di tahun-tahun belakangan ini,
satu tekad lain terpatri di dadanya. Sejak standar nilai ujian nasional dari
tahun ke tahun dinaikkan dan itu justru membuatnya sering melihat wajah-wajah
kecewa, Dion memiliki sebuah tekad baru, “Mereka harus lulus! Anak-anakku harus
mengakhiri masa sekolahnya di sekolah ini dengan wajah sumringah.”
Meski demikian, terkadang ia
bersyukur jika teringat masa-masa sekolahnya dulu. Dion tidak mengalami istilah
mencopot baju dan berenang menyeberang pulau seperti yang dilakukan
murid-muridnya kini. Cukuplah rasa lelah karena harus berjalan beberapa
kilometer jauhnya dari rumah menuju sekolahnya. Rasa syukur miliknya yang
terbersit kini, tak pernah ia sangka ada dulunya. Dulu, ia bisa memiliki keluh
dalam lelah. Tapi jika membandingkan dengan kenyataan pada apa yang dialami
beberapa siswanya, ia langsung merasa malu.
Beberapa tahun terakhir ini, Dion
harus bertarung untuk mereka yang terus dan terus mau sekolah. Nilai akhir
memang membuatnya cemas di setiap waktu akhir jenjang pendidikannya. Dan
sepanjang tahun, siswa-siswanya silih berganti harus berjuang untuk mencapai
sebuah standar nilai yang begitu tinggi. Untuk sebuah status lulus.
Dion sendiri tidak pernah
membayangkan akan melalui semuanya itu sebagai bagian dari nasibnya, sebagai
seorang guru di sebuah pulau kecil yang jauh dari peradaban kota. Sebuah
profesi mulia yang juga ia harapkan dapat menuai penghasilan yang memadai. Dan
dengan tetap memegang amanah orangtua semenjak ia kuliah untuk menjadi guru
PNS, akhirnya ditekadkan hatinya untuk keluar dari pulau Jawa.
“Guru itu kalau di luar Jawa
dihargai banget, lho! Gajinya saja bisa tiga juta lebih. Coba kalau kita di
Jawa, susah banget terus-terusan daftar PNS. Susah diterima! Kecuali, kalau
kita punya uang banyak untuk bayar. Tapi yo lucu tho yo? Masa’ mau kerja
kok kita ibaratnya diminta bayar dulu. Bener, tho?!” itulah kata-kata
Arib, sahabatnya yang sudah lebih dulu merantau ke luar pulau Jawa. Tak
henti-hentinya teman kuliahnya itu mengobarkan semangat merantau pada diri Dion.
Pilihan di depan mata yang
ditawarkan Arib tersebut akhirnya ia pilih untuk ia ambil. Di kemudian hari
ketika tes PNS benar-benar diikutinya dan vonis untuk tugas mengajar di sebuah pulau
harus diterima, Dion tetap terus memilih mengikuti garis hidup yang telah
diambilnya tersebut.
Namun kenyataan menjadi guru di
sebuah pulau sungguh di luar dugaannya. Waluyo tidak pernah tahu bahwa ada
kondisi sekolah-sekolah tertentu yang bisa jadi tidak seperti yang ada dalam
gambarannya ketika kuliah. Satu komputer untuk satu sekolah, misalnya itu yang
ada pada sekolah tempatnya mengajar. Tidak peduli apakah itu untuk kerja para
guru ataukah untuk kegiatan belajar bagi para siswa dalam mengenal teknologi
komputer, komputer itu jadi benda canggih yang dipakai secara bergantian.
Yang hanya Dion tahu dari selama
mengikuti kuliah dulunya, menjadi seorang guru haruslah punya beberapa
kemampuan. Guru harus mampu memotivasi siswa, mengajar sesuai dengan rancangan
pengajaran, dan mengajar dengan metode yang bervariasi demi membuat para siswa
tidak menjadi bosan dan dapat dengan mudah menyerap pelajaran. Itulah teori
yang Dion dapatkan selama kuliah di universitas yang dulunya identik dengan
berbagai jurusan keguruannya.
Tapi Dion tidak pernah diberitahu
jika kondisi-kondisi yang distandarkan itu faktanya tidaklah didukung dengan
hal-hal yang juga seiya. Dan saat sadar tentang hal itu, tentunya Dion tidak
mungkin menyesal. Malu juga rasanya jika harus mundur dari kenyataan. Anak-anaknya
yang sudah berani berperang melawan kondisi memprihatinkan pada diri mereka
untuk memenuhi kriteria wajib belajar itu sungguh sayang jika harus ia
kecewakan! Jika mereka bisa bersemangat untuk tetap terus sekolah dalam kondisi
yang tidak menunjang, kenapa ia malah memilih mundur?
Semua jawaban untuk ujian akhir
nanti akhirnya sudah dikerjakan oleh Dion. Hasilnya, siap untuk dibagikan ke
pada para murid-muridnya. Apa yang barusan dilakukannya pun sungguh tak ada
dalam bayangannya dulu ketika ia menempuh kuliah. Dulu ia berprinsip dalam
kondisi ujian apapun, ia harus bisa mengerjakannya sendiri. Tanpa bantuan
kecurangan. Tidak ada harapan pertolongan dari teman-temannya, apalagi dari
pengajar. Sungguh rasanya tidak masuk akal jika ia harus melewati ujian dengan
meminta pertolongan jawaban dari dosen. Yang ia yakini sejak dulu, jika
mentalnya ketika menuntut ilmu saja sudah rusak, lantas apakah ia bisa dengan
santai meminta para siswanya nanti untuk bersikap jujur dalam ujian? Prinsip
Dion ketika masih kuliah itu pun kerap ditanggapi dengan senyuman kecil oleh
Arib, sahabatnya.
“Lakukanlah hidup itu dengan wajar,
kawan. Aku yakin, guru-guru kita pun dulunya pasti sama halnya seperti kita
sekarang Mereka juga pastinya kerap melakukan hal-hal yang tidak jujur dalam
mengerjakan tugas sekolah,” bela Arib untuk dirinya sendiri.
“Dan nanti, tentunya aku juga akan
mati-matian melarang muridku untuk bersikap curang. Pokoknya, aku nggak peduli
kalau aku dulu juga suka mencontek sewaktu kuliah!” Dion ingat ekspresi Arib
yang tanpa ekspresi bersalah saat mengatakan hal itu. Sementara ia yang
mendengarnya malah merasa gerah.
“Ah, mungkin teman-temanku yang dulu
sering mengolok-olok keidealismeanku, pastinya tidak canggung untuk melakukan
seperti apa yang sedang aku lakukan kini. Dan mungkin di saat yang sama, jika
mereka kini juga menjadi guru seperti aku sekarang, mereka pun pastinya juga
sedang mengusahakan hal yang sama untuk murid-muridnya di sekolah,” batin Dion
sembari memandang jawaban dari soal-soal ujian yang telah selesai ia kerjakan.
Sudah menjadi rahasia umum,
bahwasanya soal ujian kini sudah begitu mudah didapatkan. Meskipun, ujian akhir
nasional masih tinggal empat bulan lagi lamanya. Bahkan menurut kabar pesan
pendek dari telepon seluler dan kabar lewat telepon dari teman-temannya yang
sering mengakses internet, di dunia tak nyata itu kini sedang ramai bermunculan
soal-soal untuk ujian. Tidak ada lagi judul latihan soal untuk persiapan ujian
atau soal-soal yang pernah keluar di tahun-tahun lalu dan bisa menjadi bahan
belajar bagi para siswa yang akan ujian.
Padahal dulu di masa kecilnya, Dion
harus merepotkan diri ke sana sini demi mendapatkan soal ujian tahun-tahun
sebelumnya untuk dipakai sebagai soal latihan. Tapi kini, para siswa calon
peserta ujian akhir itu bahkan sudah bisa berlatih soal-soal yang 99 persen
kemungkinannya akan menjadi soal ujian sungguhan nantinya.
Bahkan yang membuat Dion
terheran-heran, jawaban soal ujian pun sudah bisa didapatkan dengan mudah.
Heran bercampur rasa kesal lah yang menjadi hujan rutukan di hati Dion. Lantas,
apalah gunanya ia dan para siswanya harus menempuh istilah belajar mengajar
selama tiga tahun?
Apalagi informasi itu ia dapatkan di
tahun-tahun sebelumnya. Saat di mana ia sedang mati-matian mengira-ngira dalam
persiapan yang ia lakukan untuk para murid-muridnya tentang soal apa yang akan
dikeluarkan oleh para penguasa bidang pendidikan tingkat wahid. Rasanya saat
itu barulah ia menyadari, betapa kasihan para muridnya yang di malam ujian
harus kebingungan menerka, soal apa yang akan keluar nanti. Jika terlewat
kurang beruntung, alamat, tergadaikanlah nilai di akhir ujian. Dan kegemasan
Dion saat itu tentunya sampai di ubun-ubun ketika mendengar teman-temannya yang
kini seprofesi, bisa bercerita ringan dan pasti tentang nasib anak didiknya di
akhir ujian nanti. Pasti lulus!
“Ini bukanlah salah kita.
Orang-orang yang berada di atas kita yang tidak sadar dan akhirnya meminta kita
untuk melakukan ini. Mereka tidak lagi mau malu jika nanti wajah mereka
tercoreng aib dengan angka-angka ketidaklulusan yang begitu fantastis,” begitu
alasan seorang rekannya yang juga sesama guru di sekolah tempatnya mengajar.
Melihat Dion hanya terdiam dengan
ekspresi yang seakan masih sulit menerima, rekannya itu pun tak henti menyerah
mencoba terus meyakinkannya. “Kita lebih baik mengikuti saja. Kasihan betul
lihat anak-anak pulau itu yang sudah mau berpayah-payah bersekolah, lalu harus
terus kecewa. Lagipula, nasib sekolah di daerah-daerah lainnya sama juga
seperti kita. Kita ini, mengajar sekolah di pulau ini, memang terkenal akan
kualitasnya yang kurang baik. Tapi walau bagaimanapun itu, cobalah engkau
pikirkan sekali lagi nasib anak-anak kita.” kata-kata dari rekan kerjanya yang
sepertinya paham gejolak hati Dion, mencoba sedikit meredam kegalauannya.
Dion berjalan gontai ke sekolah
tanpa rasa gairah. Hari ini berita kelulusan anak-anaknya akan diketahuinya.
Tapi meski di tahun-tahun sebelumnya angka kelulusan anak-anaknya tidaklah
menggembirakan, namun masa-masa dulu itu lebih membuatnya bersemangat untuk
memacu langkahnya ke sekolah di saat-saat seperti ini. Dan sekarang, rasanya
semua berbeda.
Kejadian demi kejadian seputar ujian
nasional terus ada dalam ingatannya. Satu hal, ia masih merasakan sesak di
dadanya jika mengingat apa yang telah dilakukannya beberapa bulan lalu. Dan
ketika langkah kaki Dion akhirnya sampai di sekolah, para siswa pun berhamburan
langsung berebut menciumi tangannya.
“Terima kasih, Pak! Terima kasih,
Pak!” Wajah-wajah gembira dan lega menyambutnya seusai para murid-muridnya
tersebut menempelkan kening mereka di punggung tangan Dion saat bersalaman
sebagai tanda hormat.
Mata Dion yang berkaca-kaca seperti
menangkap getar rasa haru di mata para siswanya. Dion mencoba membaca satu per
satu pikiran anak-anaknya, “Pak, Bapak pasti bangga pada kami. Angkatan kami
akhirnya bisa membuat sekolah kita ini tidak lagi diolok-olok oleh masyarakat.
Tidak ada lagi wartawan yang akan datang bergantian untuk meliput nasib sekolah
kita yang terus-menerus dinyatakan sebagai sekolah tidak bermutu. Meskipun,
seharusnya kami bangga. Karena, kapan lagi kondisi sekolah kita yang
memprihatinkan ini bisa diperhatikan oleh masyarakat dengan adanya kejadian
ketidaklulusan? Ah, tapi kini pun pastinya mereka akan kembali menyorot
prestasi kami di tahun ini. Kami semua sudah bisa lulus!” Tiba-tiba Dion seakan
mampu membaca pikiran murid-muridnya.
Namun tetes tangis Dion bukanlah
demi rasa haru. Lebih tepatnya adalah rasa miris yang mengiris nuraninya karena
sedih dan marah pada dirinya sendiri. Ya, hari itu murid-murid Dion lulus. Tapi
bagi Dion, ujiannya sebagai guru sebetulnya dinyatakan tidak lulus tahun ini!
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika mengkopi tolong memberikan komentar teman . Terima kasih.