Judul
Film : MERAH PUTIH
Sutradara : Yadi Sugandi
Asisten Sutradara : Mark Knight
Produser Eksekutif : Conor Allyn dan Rob Allyn
Penyunting Gambar : Sastha Sunu
Koordinator Efek Khusus : Adam
Howarth
Koordinator Pemeran
Pengganti : Rocky McDonald
Ahli Persenjataan : John Bowring
Tata Rias dan Efek
Visual : Rob Trenton
Penata Aristik : Iri Supit
Penata
Musik : Thoersi Argeswara
Pemain : Lukman Sardi, Darius
Sinatra, Teuku Rifnu Wikana, Doni
Alamsyah, Zumi Zola, Atiqah Hasiholan, dan
Rahayu Saraswati
Rilis : Tahun 2009
Dunia perfilman Indonesia akan
kembali meluncurkan sebuah film perjuangan, yang diberi judul MERAH PUTIH. Film
ini berlatar sejarah otentik perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan pada tahun
1947 ketika terjadi Agresi Militer Belanda pimpinan Van Mook yang menyerang
jantung kaum republik di Jawa Tengah, MERAH PUTIH bercerita tentang sekelompok
pejuang kemerdekaan yang harus bersatu untuk bertahan dari pembunuhan, berjuang
sebagai pejuang gerilya, untuk menjadi anak-anak bangsa sesungguhnya, terlepas
dari konflik pribadi yang tajam dan perbedaan yang besar dalam kelas sosial,
suku, daerah asal, agama, dan kepribadian. Diproduksinya
film 'Merah Putih' ini bertujuan untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan
kemerdekaan sekaligus membangkitkan kembali semangat kejuangan di dada para
pemuda Indonesia yang belakangan kita rasakan sudah mulai berkurang dan
meredup.
Sudah lama kita
tak melihat film nasional bertema perang ditayangkan di bioskop domestik. Tapi,
sebentar lagi, mulai 13 Agustus, layar lebar bakal dihias kisah pejuang-pejuang
Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Merah Putih judul film itu. Film ini
berfokus pada lima kadet yang mengikuti latihan kemiliteran di Jawa Tengah.
Latar belakang kelimanya beragam suku dan agama. Suatu saat, tentara Belanda
menyerang pusat latihan itu. Semua dibunuh, kecuali kelimanya yang berhasil
meloloskan diri. Mereka lalu bergabung dengan gerilyawan yang dipimpin Jenderal
Soedirman. Skenario film ini berangkat dari cerita Margono Djojohadikusumo,
ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama republik ini. Dia pernah melanjutkan
perjuangan Partai Nasionalis Indonesia, saat tokoh-tokoh partai itu ditangkap
dan dibuang. Margono juga merupakan kakek pengusaha Hasjim Djojohadikusumo,
produser eksekutif Merah Putih.
Cerita itu lalu
diolah oleh Connor Allyn, warga Amerika Serikat yang baru pertama kali ini
mengolah skenario. Dia adalah putra Rob Allyn, yang juga tercatat sebagai
pembuat skenario Merah Putih. Rob Allyn adalah konsultan politik asal Texas,
pernah menjadi penasihat presiden George W. Bush. Sebagai penulis, sejumlah
bukunya sudah diterbitkan. Meski berangkat dari kisah nonfiksi, sutradara Yadi
Sugandi memutuskan memfiksikan jalinan cerita. "Kalau tidak difiksikan,
saya harus bersandar pada sejarah. Kalau begitu, saya angkat tangan karena
harus ada riset yang sangat teliti. Dengan fiksi, saya bisa melanggar beberapa
hal. Saya lebih bebas," kata Yadi kemarin.
Contoh
"pelanggaran legal" yang dilakukan dalam film ini misalnya soal
ledakan. "Itu memang kita eksploitasi. Pada 1947, saya belum lahir. Jadi
saya tak tahu ledakan zaman dulu itu seperti apa," kata Yadi mencontohkan.
Hal-hal lain juga difiksikan seperti moda transportasi, segala macam aksesori,
mode pakaian, tanda kepangkatan, juga gaya memotong kumis dan cambang yang
berlaku pada tempo yang dikisahkan dalam film. Begitu pula konstruksi latar
belakang sosial masyarakat. Tim film ini membuat sendiri latarnya, seperti
properti, kondisi dusun, dan tingkat kemiskinan masyarakat saat itu. "Tapi
semua sebisa mungkin didasari data otentik," kata Yadi. Yadi memang baru
pertama kali ini menyutradarai film. Dia lebih dikenal sebagai penata gambar
yang andal. Tadinya film ini akan disutradarai orang asing. Namun, pihak
produser menunjuk Yadi, yang dinilai mengikuti sejak awal proses persiapan
pembuatan film. Tadinya ia sempat ingin menolak. Namun, setelah mengetahui
skenario yang dinilai sangat nasionalis, sinematografer itu menyanggupi
permintaan menjadi sutradara. "Kalau hanya drama, saya tolak," kata
Yadi. Tokoh-tokoh sejarah, seperti Soedirman, juga digambarkan selintas.
"Takut salah juga. Kami mengeksploitasi pemain kami sendiri,"
ujarnya. Dalam perjalanan para tokoh, yang bergerilya dari Jawa Tengah ke Jawa
Barat, mereka diceritakan sempat bersinggungan dengan tentara Darul Islam.
Terjadi kontak senjata. Tapi, kedua pihak ternyata punya tujuan sama: membela
Republik Indonesia. Sikap itu diambil sebagai pengingat, bahwa kita yang
berkonflik pun punya tujuan mulia yang sama.
Film ini
didukung Lukman Sardi (Amir), Donny Alamsyah (Tomas), Teuku Rifnu Wikana
(Dayan), Darius Sinathrya (Marius), Zumi Zola (Soerono), Astri Nurdin (Melati,
istri Amir) dan pendatang baru Rahayu Saraswati (Senja). Mereka melakoni
skenario yang menonjolkan persahabatan dan percintaan dalam masa revolusi
fisik. Tapi aspek yang paling mengemuka adalah rasa nasionalisme. Yang menarik,
senjata-senjata yang digunakan dalam film ini adalah asli. Tak ada imitasi.
Sebagian properti itu dipinjamkan TNI--meski banyak yang tak lagi berfungsi.
Untung ada ahli senjata yang bisa menghidupkan kembali semua peninggalan lawas
itu. "Kami tak bisa pakai senjata bohongan," kata Yadi. Itu untuk
mengejar nuansa keaslian. "Seperti suara selongsong jatuh dari senjata,
ada dentingnya. Senjata palsu kan tak mengeluarkan selongsong."
Merah
Putih adalah bagian pertama dari Trilogi Kemerdekaan. Sekuel dan bagian
terakhirnya akan menyusul. Tiga film itu, kata Yadi, sudah selesai diambil
gambarnya dalam tiga bulan yang padat. Untuk sekuel dan lanjutannya tengah
dalam proses pascaproduksi. "Sekitar 20 persen lagi selesai,"
ujarnya. Ketiga film itu menghabiskan biaya Rp 60 miliar termasuk promosi.
Menurut Yadi, itu adalah biaya yang tak berlebihan dan tim tak boros dalam
penggunaannya. Dana itu membiayai pemakaian tenaga ahli kelas dunia, pembuatan
replika kendaraan, hingga pembelian peluru asli.
Tweet |
aisss resensinya bgus broww,,,
BalasHapussukses bossss:D
siaaappp ........
BalasHapus